Minggu, 05 Januari 2014 | By: Unknown

Mata Itu.



Mata itu, mata yang sedang memandangi bayi mungil yang terlahir dengan ledakan tangisannya. Hari itu terlihat terurai butiran bening bak kristal dari pelupuk yang sendu. Tatapannya begitu tajam menyaksikan geliat bayi merah yang tak tertutupi sehelai benang pun. Bayi itu tampak kelaparan, segera disuguhkannya air susu yang suci untuk menenangkannya. Bayi itu kini berhenti dari geliatnya, dirasakan hangatnya cinta dari seorang perempuan yang kini begitu bahagia setelah menantikannya datang selama lebih dari sembilan bulan. Perempuan yang kini sedang menyeka air matanya lalu tersenyum bahagia.
Mata itu, mata itu kembali menangis. Bukan tangisan bahagia yang membuatnya terurai tapi kini jeritan pilu yang lahir dari hatinya. Jelas disana ada beban yang tak sanggup dibendungnya lagi dan menyebabkan air matanya tumpah berderai. Mata itu kini menatap seorang bocah mungil yang terbaring tak berdaya di tempat tidur sebuah kamar rumah sakit. Mata itu kini tak lagi sendu tapi seakan lelah untuk menangis menunggu sang bocah kembali sadar.
Mata itu, untuk ke sekian kali mata itu kembali menguraikan butiran bening tanda kelembutan perasaannya. Ia sedang terseduh lantaran menganggap anak laki-laki yang dilahirkannya tak mendengar nasihatnya. Mata itu sedang menatap kepada seorang anak laki-laki yang mengucurkan darah dari jidatnya. Merah dan pekat, menutupi setengah dari wajahnya. Mata itu menangis penuh kekhawatiran.
Mata itu, mata yang begitu mudah menitihkan kelembutan, mata yang begitu mudah menitihkan kasih sayang. Selalu saja terurai untuk seorang anak yang dilahirkannya lebih dari dua puluh tahu silam. Mata yang selalu saja basah lantaran rindunya akan anak laki-lakinya yang tak lagi sering diperhatikannya. Mata yang senantiasa terbuka dan terpejam untuk menatap anak laki-lakinya.
Mata itu, mata yang jarang aku saksikan lagi lantaran jarak yang tak mengizinkan menatap mata itu. Mata yang tak pernah aku tahu berapa kali ia harus basah karenaku. Mata yang selalu menunjukkan tatapan penuh cinta dan kelembutan yang hangat yang membuatku tak mampu jauh darinya. Mata yang harus dengan rela tak kutatap karena waktu yang membuat kondisi berubah.
Mata itu, mata yang selalu menatapku sebagai anak kecil yang harus selalu diperhatikan. Mata yang tak mampu terpejam tanpa sebuah kabar yang diterima oleh empunya mata. Mata yang selalu aku rindukan untuk menatapnya, mata yang menguraikan kisahnya kepada waktu sebagai bahasa-bahasa sunyi akan betapa hebatnya sang pemilik mata. Mata yang senantiasa rindu menatap anak laki-laki yang kini bukan lagi sosok anak kecil. Mata yang memancarkan cahaya kasih Tuhan. Mata dari Ibuku yang teramat mencintaiku.